RESPIRITUALISASI PENDIDIKAN: Solusi Problem Epistemologis Pendidikan Islam
RESPIRITUALISASI PENDIDIKAN:
Solusi Problem Epistemologis Pendidikan Islam
Oleh : Abdullah Musafak, M.Pd.I
Nabi Muhammad SAW, menjelang wafatnya pada tahun 11 Hijriyah atau 632 Masehi, telah mewanti-wanti kepada kaum muslimin, jika mereka tidak ingin tersesat, hendaknya berpegang teguh hanya kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah saja. Yang dimaksud Al-Sunnah ialah keseluruhan perkara yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW semasa hidupnya sebagai utusan Allah SWT yang dipandang sebagai contoh pelaksanaan Al-Qur’an tersebut.
Di antara para Sahabat Nabi nampaknya tidak ada yang lebih bergairah kepada Al-Qur’an dan lebih teguh berpegang kepadanya seperti ’Umar Ibn Khattab, yang oleh Nabi semasa hidupnya pernah disebut seorang yang paling mungkin menjadi Utusan Allah jika seandainya Nabi sendiri bukanlah pamungkas Rasul Allah. Bagi ’Umar kebesaran Muh}ammad tidak semata-mata karena kepribadiannya, tetapi juga karena kenyataan bahwa Muhammad telah ditunjuk oleh Allah untuk menerima wahyu-Nya.
Karena cara pandang Nabi yang demikian, sejarah merekam bahwa ’Umar adalah seorang Sahabat Nabi yang sekalipun sangat hormat kepadanya, namun tidak segan-segan mengajukan kritik kepada gagasan atau tindakan Nabi jika dirasa olehnya bahwa Nabi berpikir atau bertindak atas kemauan sendiri, bukan atas petunjuk langsung Allah (wahyu).
’Umar adalah seorang beriman yang intelektual, yang dengan intelektualitasnya itu ia berani mengemukakan ide-ide dan melaksanakan tindakan-tindakan kreatif dan inovatif, sebagaimana contoh ide tentang pembukuan Al-Qur’an pada masa khalifah AbuBakr Al-Shiddiq yang dianggap nyeleneh dan kontroversial.
Pernyataan diatas diharapkan menjadi ilustrasi dan pengantar untuk pembahasan lebih lanjut mengenai perlunya kajian kritis tentang arah pendidikan di Indonesia yang oleh banyak pihak telah dianggap lepas dari kontrol agama yang semestinya sebagai dasar utama.
Maka, tidaklah salah apabila kita sering mendengar berita baik di televisi, radio, majalah, koran, atau menyaksikan sendiri di lingkungan sekitar kita, fenomena menarik dan lucu tentang adanya dampak dari penerapan standarisasi nilai minimal kelulusan siswa oleh pihak pemerintah bagi lembaga-lembaga sekolah.
Bagus memang, apa yang di upayakan pemerintah sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan secara nasional tentang standarisasi kelulusan siswa, karena memang dengan adanya penerapan kebijakan ini diharapkan bisa memotivasi adanya perbaikan kualitas pendidikan Indonesia yang belum juga menampakkan prestasi yang menggembirakan di kawasan regional, Asia Tenggara, Asia atau bahkan Internasional.
Kebijakan berani tersebut telah menimbulkan dampak shock theraphy bagi lembaga sekolah. Maka, karena rasa takut akan anjloknya pamor Dinas Pendidikan di daerah, mereka melakukan tekanan-tekanan psikologis sampai dengan ancaman kepada kepala sekolah sebagai ujung tombak penyelenggaraan pendidikan.
Begitupun kepala sekolah, karena rasa takut akan hilangnya kepercayaan masyarakat jika nantinya didapati siswa mereka tidak lulus dalam ujian akhir, maka mereka melakukan “konspirasi hitam“ dengan lembaga sekolah yang lain untuk meminimalisir angka ketidak lulusan peserta didik di sekolah bersangkutan.
Dan tidak kalah menarik dari semua itu, juga masih dengan alasan yang sama yakni karena rasa takut yang sangat kepada orang tua, atau malu dengan teman mereka, siswa juga melakukan “ikhtiar kreatif“ dengan jalan dan cara apapun untuk memenuhi keinginan mereka, kalau sudah demikian adanya, mencontek akan menjadi fenomena yang dianggap lumrah. Mereka semua tidak menyadari bahwa sekolah adalah lembaga pendidikan, bukan kasino atau tempat perjudian.
Ironis, lucu dan menarik memang, tetapi kalau sudah sedemikian parah kondisinya, siapa yang patut dipersalahkan, pemerintah sebagai pengambil kebijakan, pihak sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan atau siswa sebagai “sapi perahan“. Lucu karena banyak pihak yang berusaha mencari “kambing hitam“, sekaligus menarik karena menggugah daya kritis yang merupakan pertanda keberadaan dan aktualitas hidup manusia, karena daya kritis inilah kita akan memiliki kemampuan menyadari diri untuk selanjutnya bisa menerobos dan melampaui batas-batas eksistensi kita.
Nah, di sinilah pula letak spiritualitas yang bukan hanya sekedar lawan dari materialitas atau rasionalitas, yang saat ini telah merasuk dalam tubuh pendidikan kita.
Berawal dari tulisan sederhana ini penulis sangat berharap, melalui perspektif di atas akan terbuka sebagian masalah dari sejumlah besar permasalahan-permasalahan filosofis, teortis dan teknis dalam pendidikan. Karena memang, konsep kebenaran ilmu tidak akan pernah selesai sebagai proses pencarian, penemuan dan perumusan kebenaran yang terus berlangsung sepanjang sejarah peradaban.
Tulisan sederhana ini berusaha mengajukan sedikit gagasan untuk memecahkan segudang persoalan pendidikan Islam, baik secara filosofis, teoritis atau bahkan sampai pada tataran teknis.
Sebab sejarah menunjukkan bagaimana cara hidup manusia terus berubah semakin cepat searah perkembangan zaman, dalam pada itu pentingnya mengembangkan budaya kritis dan religius yang tetap bisa dipadukan dalam bingkai pendidikan Islam.
Dan ternyata gagasan integrasi atau islamisasi ilmu belum menjawab persoalan ketika pendidikan Islam sendiri ikut terperangkap dalam ide sekularisasi yang memisahkan yang sakral (pendidikan agama) dan profan (pendidikan umum).
Penulis sangat berharap terjawabnya pertanyaan tentang mengapa bangsa yang selama ini dikenal santun dan religius, berubah bringas dan mudah melakukan tindak kekerasan pada sesama saudara sebangsa dan atau bahkan seagama, dan mengapa budaya amoral yang dianggap lumrah dalam “rumah tangga“ lembaga pendidikan, seperti plagiatisme, budaya nyontek dan tindakan curang lainnya.
Memang mudah dikatakan, tetapi sulit untuk dilaksanakan bukan?
Wallahua’lam bissawab.
1 Response